Berkaca
Pada Tradisi Petani Desa
Seperti kita ketahui, bahwa Indonesia adalah negara dengan
beragam suku. Dari setiap suku-suku yang ada di Indonesia mereka memiliki
kebudayaannya masing-masing. Termasuk dalam hal pertanian, mereka memiliki
kepercayaan masing-masing dan seni kebudayaan yang sangat unik dan beragam. Menurut kepercayaan orang
Using, bahwa kesuburan tanah dan hasil panen yang berlimpah bersumber pada
kesetiaan menghormati roh-roh nenek moyang. Sebaliknya apabila terjadi sesuatu
wabah yang menimpa warga desa, sesuatu penyakit ataupun kesusahan lain dalam
hidup seseorang/keluarga. Semua itu dianggap sebagai kemarahan roh-roh nenek
moyang terhadap perbuatan atau tingkah laku warga yang kurang sesuai. Oleh
sebab itu, masyarakat Using di Kemiren sering, bankan selalu meminta
pertolongan dari roh-roh nenek moyang dengan cara mengadakan selamatan.
Dalam hal pertanian,
upacara selamatan dilaksanakan sesuai dengan tahap-tahap kegiatan dalam
pengolahan lahan pertanian. Sebelum proses menanam padi dimulai para petani
Using di Kemiren,Glagah, Banyuwangi mengadakan selamatan untuk meminta doa restu dari yang
“mbaurekso” (yang menghuni dan menguasai tanah setempat) dan dari Dewi Sri
(Dewi Padi) agar tanaman padi terhindar dari hama dan panen padi dapat
berhasil. Selamatan ini dalam istilah orang Using disebut “adeg-adeg”.
Pelaksanaan upacara ini diawali dengan pembakaran dupa oleh petani pemilik
sawah d- ikuti dengan pembacaan doa/mantera-mantera. Upacara ini biasanya
dilaksanakan secara berkelompok oleh petani yang sawahnya berdekatan. Setelah
selesai acara pembakaran dupa, diadakan acara makan “sego urap” (nasi dengan
sayur urap) secara bersama- sama. Kemudian salah seorang di antara petani itu
menancapkan beberapa pohon tanaman padi di sekitar sawah sebagai tanda
dimulainya kegiatan menanam padi.
Pada waktu kegiatan menanam
padi, diadakan lagi upacara yang disebut upacara “labuh tandur”. Tujuannya sama
adalah selamatan supaya tanaman padi tumbuh subur dan panen berhasil. Sesajen
yang disediakan dalam selamatan ini adalah sesajen “adek- adek” berupa nasi
putih, kelapa parut digongseng dan diberi garam secukupnya. Selain “adek-adek”
disediakan juga bahan “ki- nangan” yaitu beberapa lembar daun silih, pinang,
daun gambir dan kapur sirih secukupnya. Semua bahan-bahan ini diletakkan di
‘uangan” atau pematang saluran air irigasi di sekitar persawahan sebagai
sesajen untuk Dewi Padi (Desi Sri).
Upacara selanjutnya disebut
upacara “nyelemati padi”, yaitu upacara pada saat bulir-bulir padi mulai keluar
atau saat padi mulai bunting. Untuk keselamatan bulir-bulir padi yang sudah
mulai keluar itu, maka petani Using memberi sesajen kepada Dewi Padi.
Maksudnya supaya
bulir-bulir padi menjadi dan berhasil untuk dipanen. Sesajen itu berupa “pecel
ayam” (ayam panggang diberi bumbu secukupnya). Bagian-bagian tertentu dari
daging ayam, seperti kaki ayam sebanyak 3 buah, “telampik” (sayap) 3 buah,
“brutu” (bagian ekor ayam) 3 buah, tidak boleh dimakan, akan tetapi diberikan
sebagai sesajen untuk Dewi Sri. Bahan- bahan sesajen ini dimasukkan ke dalam
satu wadah lalu diletakkan di “uangan”. Bagian lain dari suguhan “pecel ayam”
dimakan bersama oleh keluarga dengan mengundang tetangga sawah. Biasanya
upacara “nyelamati padi” di Kemiren dilakukan oleh para petani secara serentak.
Sebagai puncak upacara
dalam kegiatan pertanian di Desa Kemiren adalah upacara memanen padi.
Masyarakat Using menyebut upacara “ngampung”. Para petani yang mampu, biasanya
nanggap kesenian “angklung sawahan”. Jenis kesenian ini merupakan, tabuhan
tradisional yang peralatannya terdiri atas 2 perangkat angklung dan 2 buah
gendang yang dimainkan oleh 4 orang penabuh. Kesenian “angklung sawahan” ini
dipertunjukkan di lokasi sawah yang sedang panen sehingga menambah suasana
gembira dan semangat kerja bagi pemanen. Untuk tempat para penabuh dan
peralatannya didirikan suatu “paglak” yaitu sejenis pondok kecil di atas 4 buah
tiang bambu setinggi 10-15 meter dari tanah. Dengan demikian para petani yang
sedang menuai padi di sekitar “paglak” dapat melihat penabuh dan mendengar
bunyi tabuhan lebih nyaring. Pada upacara ini, para penabuh diberi makanan
kue-kue, nasi dan “uyak asem” (ayam dimasak dengan campuran kacang panjang dan
bumbu secukupnya). Bagi para pemanen mendapat sebagian hasil panen padi sebagai
imbalan kerja.
Sebagai ucapan syukur bahwa
pekerjaan di sawah telah selesai dan penen padi berhasil maka petani Using di
Kemiren melaksanakan upacara yang dalam istilah daerah disebut upacara “ngirim
duo” (mengirim doa). Upacara ini bertujuan untuk mendoakan roh-roh kerabat yang
sudah meninggal agar diterima di sisi Tuhan. Ngirim duo juga bertujuan supaya
keluarga yang ditinggal pendahulunya itu, diberi rezeki dan terkabul segala
keinginannya. Berbagai jenis makanan disuguhkan dalam upacara ngirim duo .
Upacara lain yang masih
sering dilakukan oleh orang Using di Kemiren adalah upacara “ngaturi dahar”.
Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri supaya seluruh anggota keluarga
yang mengadakan selamatan dalam keadaan sehat-sehat. Pada umumnya, upacara
“ngaturi dahar” dilakukan oleh setiap keluarga setahun sekali pada malam
Jum’at atau malam Senin.
Dalam upacara ini, keluarga
mengundang kerabat dekat dan tetangga dekat di Desa Kemiren. Makanan yang
disediakan dalam upacara ini bermacam-macam, terdiri atas 7 piring “jenang
abang” (6 piring bubur merah dan 1 piring bubur putih), “jenang seng- kolo”
(bubur 5 warna : bubur merah, bubur putih, bubur ketan hitam, bubur jagung,
bubur kacang hijau), pisang mas beberapa “lirang” (sisir) atau sebanyak jumlah
anggota keluarga yang mengadakan hajad), 7 bungkus nasi “golong” (nasi putih
dengan lauk telur dan ayam pecel), “nasi goreh” (nasi putih dengan lauk ayam,
timbal jagung, kerupuk, sawur/kelapa goreng), timun, 5 buah cabe merah, dan
“jangan lembarang” (ayam masak santan). Selain makanan, sesajen dilengkapi pula
dengan berbagai macam bunga-bungaan, yaitu bunga “sundel” (berwarna putih),
bunga mawar (merah), bunga “wongso” (berwarna kuning) dimasukkan dalam botol
berisi air, 44 tangkai kembang “wongso” (berwarna kuning) dimasukkan ke dalam
“bokor kuning”, dan 1 botol kecil minyak “klitik” (minyak goreng).
Semua jenis makanan
tersebut disusun dalam satu tampah besar. Setelah pembacaan doa oleh modin,
maka para undangan diberi makan. Pisang dan bunga-bungaan dibagi-bagikan kepada
tamu untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing. Semua makanan harus
dihabiskan, kecuali keluarga yang punya hajad tidak boleh memakannya. Karena
mereka dalam kondisi membersihkan diri. Kalau masih ada sisa makanan maka
ibu-ibu yang telah membantu dan ibu-ibu tetangga diundang untuk menghabiskan
makanan. (http://jawatimuran.wordpress.com/)
Sungguh betapa indahnya
kebudayaan indonesia, berkaca dari tradisi masyarakat Kemiren ini, menunjukkan
betapa kokohnya persatuan dan rasa kebersamaan masyarakat. Mereka melaksanakan
tradisi sekaligus berbagi antar sesama manusia. Jadi haruskah ada perpecahan di negeri yang indah ini ?
:Bukan tenaga yang membuat
kita kuat, tapi kebersamaan dan tolong menolong akan membuat kita tidak
lemah*@dayat: #bukan keroyokan
0 komentar:
Posting Komentar